KOTA SERANG,TREN5.CO.ID - Kelompok Radikal biasa diartikan dengan suatu kelompok yang memiliki paham atau aliran tertentu yang berusaha melakukan perubahan dan pembaharuan dengan menempuh cara-cara kekerasan ekstrem.
Cara-cara kekerasan itu di antaranya menghalalkan segala cara di dalam mencapai tujuannya, termasuk melakukan tindakan pengeboman, penculikan, perampokan, dan tindakan kriminal lainnya untuk memperoleh dana guna membiayai perjuangannya.
Kelompok Radikal juga berusaha untuk mengganti tatanan nilai yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Simbol perjuangan yang mereka usung adalah Jihad untuk melawan kekafiran.
Radikal dan Radikalisme, dua istilah yang akhir-akhir ini sering kali dikaitkan dengan aksi-aksi kekerasan yang dikonotasikan dengan kekerasan berbasis agama termasuk aksi terorisme.
Istilah Radikal dan Radikalisme berasal dari bahasa Latin “Radix, Radicis”. Berarti akar, sumber, atau asal mula radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.
Hampir sama dengan pengetian itu, Radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Radikalisme dengan arti paham dalam politik yang ekstrem dan dengan menggunakan cara kekerasan, atau paham keagamaan yang fanatik hingga memaksa orang lain, jelas bertolak-belakang dengan Islam.
Di dalam Al-Quran disebutkan: Lâ ikrâha fî ad-dîn (Tak ada paksaan dalam memeluk Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).
Memaksakan agama Islam kepada orang lain adalah larangan keras di dalam Islam. Apalagi mengganggu, menteror, dan mengebom orang-orang kafir yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
Itu jelas dilarang keras dalam Islam. Jadi, meski secara bahasa, Islam adalah radikal, Islam menolak Radikalisme.
Islam menolak cara-cara kekerasan dalam perubahan sosial-politik dan juga dalam pemaksaan agama seseorang. Mungkin terkesan tidak konsisten: radikal tetapi menolak Radikalisme.
Di Provinsi Banten, paham tentang Radikalisme terbilang sangat tinggi. Menurut riset yang dilakukan hampir 85 persen remaja di Provinsi Banten menganut Faham Radikalisme.
Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten, Amas Tajudin membenarkan hal tersebut. Menurutnya, paham Radikalisme di kalangan remaja terjadi karena ketidaktahuan mereka tentang Radikalisme.
"Banten ini sangat berpotensi, bibit-bibit itu telah lama ada mulai dari keinginan untuk berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian saya melakukan riset ke sekolah maupun Pondok Pesantren (Ponpes) di Banten, dan ternyata hampir 85 persen dari orang yang saya temui lebih condong ke arah Radikalisme," ujar Amas Tajudin, Saat ditemui di kantornya, Jumat, 07 Oktober 2022.
"Namun setelah kami gali kembali, ternyata hal tersebut terjadi akibat kurangnya pemahaman mereka tentang makna dari semua pertanyaan yang mereka jawab. Ini berkaitan dengan bahan ajaran yang diterima mereka di sekolah atau di tempat mereka menimba ilmu. Contoh misalkan, saya bertanya, kamu memilih Negara Pancasila atau Negara Syariat Islam? Mayoritas menjawab Negara Syariat Islam. Apa kamu memilih Pancasila atau Al-Qur'an. Mereka memilih Al-Qur'an," jellas Amas Tajudin.
Dari hasil riset yang dilakukan, FKPT Provinsi Banten langsung mengambil langkah untuk melakukan pencegahan tumbuhnya paham Radikalisme di Provinsi Banten dengan melakukan sosialisasi di tempat peribadatan dan ke tempat pendidikan formal dan non formal.
"Kita sambangi sekolah-sekolah dan Ponpes, juga tempat-tempat strategis lainnya untu memberikan pemahaman tentang Radikalisme. Bahwa tidak semua yang mengatasnamakan Islam dan takbir itu bertentangan dengan Pancasila. Sehingga jangan sampai mereka tergiring mengganti dasar negara ini dari negara Pancasila menjadi negara Islam," ucap Amas.
Selain itu, kata Amas, momen Pemilihan Umum (Pemilu) juga berandil besar dalam penanaman paham Radikalisme bagi masyarakat Indonesia. Dimana masyarakat disudutkan dengan isu jika memilih salah satu dari pemimpin yang tidak sejalan maka dianggap tidak Islam. Fenomena seperti ini yang akhirnya secara tidak langsung mengubah sudut pandang masyarakat Indonesia tentang Pancasila dan Islam.
"Ini juga yang akhirnya menjadi kepentingan bagi politik praktis, Dimana isu yang mereka gunakan adalah pola pemahaman pemilihan dengan kaidah Aqidah, pemimpin yang bukan Islam itu kafir, dan ini salah besar. Dalam Islam sendiri pola pemilihan pemimpin menggunakan kaidah Fikih dimana tidak berbicara lagi tentang pemimpin ini muslim atau tidak, akan tetapi bagaimana pemimpin tersebut dapat bertanggung jawab untuk masyarakat. Jadi kita juga harus mengetahui politik praktis mana dan siapa yang telah mengajarkan pemahaman tersebut sehingga membuat masyarakat kita menjadi memiliki tafsir yang salah dan mengarah kepada Radikalisme," tegas Amas Tajudin.
FKPT Provinsi Banten juga menghimbau masyarakat untuk dapat memilah dan tidak salah dalam menafsirkan suatu hal baru yang dapat memecah belah kesatuan negara Republik Indonesia, dan bersatu dalam mencaga keutuhan negara yang berkedaulatan Pancasil ini.
"Negara ini telah dibangun oleh para pejuang terdahulu dan dibentuk oleh para ulama dan petinggi bangsa ini dengan kedaulatan Pancasila. Marilah kita jaga dan bersatu agar negara dapat menjadi lebih kuat dan jangan terprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompok," tandas Amas Tajudin.
(*/red)