JAKARTA, -- Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI) mendorong para jurnalis di pusat pemerintahan maupun di daerah untuk komitmen menegakkan peran pers dalam fungsi kontrol, khususnya melakukan pemantauan secara kritis APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) pemerintahan baru.
"Jurnalis harus tegak lurus dalam berperan sebagai bagian dari elemen sistem demokrasi, yakni eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pers. Jangan sampai terpola menjadi jurnalis kehumasan atau penyalur berita rilis. Sehingga, abai tanggungjawab mengritisi realisasi penggunaan APBN maupun APBD. Apalagi, akan memasuki era pemerintahan baru hasil Pemilu 2024," kata Joko Irianto Hamid, Dewan Penasihat FWJI, dikutip Minggu (6/10/2024).
Joko mengingatkan hal itu mengawali pemaparan "Membangun Independensi Jurnalis dan Media di era Digital" dalam edukasi kejurnalistikan yang diselenggarakan FWJI di Wisma Arga Muncar Bogor, Jumat hingga Sabtu (4 dan 5 Oktober 2024).
Perkembangan independensi pers di Tanah Air, kata Joko yang eks wartawan senior Jawa Pos, faktanya di tengah arus gencar peralihan pers konvensional ke media siber berpotensi semakin kehilangan "trust". Terutama, mayoritas pers mainstrem berpotensi jadi pers partisan, sekaligus masuk "jebakan batman" faksi oligarki. Pasalnya, hampir semua owner perusahaan pers mainstrem terlibat dalam kuasa partai politik.
"Problem mendasar ini membuat kemerdekaan para jurnalisnya terpedaya arah kebijakan perusahaan yang berafiliasi pada politik praktis tertentu. Sehingga, wartawan bekerja lebih dominan jadi buruh dibanding sebagai insan pers yang terhormat dengan kuasa power full fungsi kontrol yang dilindungi Undang Undang No 40 Tahun 1999," kata penulis buku "Telisik Jurnalistik; Kembalikan Harum Citarum", sungai terpanjang di Jawa Barat dan terkotor se-dunia versi Bank Dunia.
Dalam pemaparannya, Joko menegaskan, situasi institusi pers mainstream ini sejatinya menjadi peluang besar mendia media non mainstream untuk menegakkan fungsi independensi sebagaimana diamanahkan UU No40/1999 tentang Pers.
Sayangnya, menurutnya, kondisi usaha pers (rata-rata non maintream) jauh dari ideal. Hasil survei indeks kemerdekaan pers oleh Dewan Pers beberapa tahun terakhir, mengungkapkan ketergantungan perusahaan pers di daerah pada dana iklan pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan utama.
"Media maupun jurnalis non mainstrem sudah saatnya berubah mindset. Yang dipusat harus pegang Nota RAPBN dan buku APBN seperti tahun 2024 mencapai Rp3.621,3 triliun. Jurnalis di daerah juga wajib mendapatkan Nota RAPBD dan buku APBD. Kemudian, cermati dan pantau terus masing-masing komponennya dari mulai perencanaan, pembahasan, hingga diputuskan," kata Joko, yang juga Wakil Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi LensaIndonesia.com.
Pantauan lebih prioritas, lanjut Joko, baik APBN maupun APBD pemerintahan yang baru, termasuk yang dihasilkan dari Pilkada 2024 juga harus dikritisi soal bagaimana realisasi distribusi anggaran maupun penggunaannya.
Menurutnya, dengan menggunakan big data RAPBN maupun APBN, maupun RAPBD dan APBD dipastikan pejabat jajaran eksekutif dan legislatif, termasuk yudikatif tidak akan memandang rendah rekan-rekan jurnalis.
"Kalau para jurnalis, terutama dari media non mainstream, banyak yang fokus mencermati dan mengiritisi, misal APBD di Jakarta yang mencapai Rp85,1 triliun, sangat mungkin marwah pers yang memiliki kesetaraan dengan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak lagi jadi monopoli para owner media mainstream," tambah Joko, usai pemaparan.
Begitu pun pantauan pengelolaan APBD provinsi lain, lanjut Joko, termasuk kabupaten/ kota lain, jurnalis jangan hanya mengritisi legislatif dan eksekutif yakni, institusi Pemprov. Tapi, juga Polda/ Polre maupun kejaksaan terkait pencegahan dan penindakan jika APBD dikorupsi.
"KPK dengan Undang Undang KPK yang baru sudah tidak bisa lagi diharapkan. Pers maupun jurnalis non mainstream harus lebih aktif. Kalau tidak APBN maupun APBD akan jadi banca'an para koruptor. Faktanya, koruptor level menteri era Pemerintahan Jokowi yang masuk penjara ada enam menteri," papar Joko, yang juga eks perintis dan Pemred Tabloid Nasional Nyata.
Joko juga mengingatkan, selain APBD Jakarta, untuk provinsi lain yang berpotensi terjadi korupsi bernilai besar, yakni Jawa Timur dengan APBD Rp48,9 triliun, Jawa Barat ber-APBD Rp36,79 triliun, dan Jawa Tengah APBD Rp28,5 triliun.
"Jika para jurnalis non mainstream mampu memosisikan peran sebagaimana UU Nomer 40 tahun 1999, termasuk taat kode etik jurnalistik, dipastikan tidak akan adao lagi keluhan dari teman-teman wartawan atau jurnalis di lapangan disetarakan staf bagian kehumasan," tandas Joko.
Dengan begitu, menurut Joko, rilis berita jajaran eksekutif sangat mungkin tidak lagi dijadikan konsekuensi para jurnalis atau media untuk mendapat pembagian iklan yang dianggarkan pemerintah daerah.
"Ironis, pers karena berharap dana iklan dari pemerintah, terutama di daerah yang nilainya tidak sampai angka puluhan juta rupiah dalam setahun, namun harus menghadapi konsekuensi mengorbankan independensi pers sebagai bagian dari empat pilar demokrasi," kata Joko.
Ketua Umum FWJI Mustofa Hadi Karya (Opan) mengatakan, pengkajian jurnalistik dari aspek profesionalisme dan hukum ini sengaja menghadirkan narasumber yang kompeten di bidang masing-masing.
Selain Joko Irianto Hamid yang eks wartawan senior Jawa Pos, hadir juga Sekjen Majelis Pers Ozzy Sulaiman Sudiro, Majelis Pers Damai Hari Lubis, Bunaya Safiudin (Eks Harian Pelita dan Eks Konsultan Antara TV News, Ismed Noviandi (eks Metro TV), M Sunu Probo Baskoro (eks LKBN Antara dan Berita Satu), Richard William (Gapta Firma), Puguh Kribo dan Jaenal Abidin (penganat jurnalis).
"Ini menjadi agenda kerja kami di FWJ Indonesia pertiga bulan. Tentunya, pengajar atau pembicara yang profesional di bidangnya dan berani. Agar next, generasi jurnalis memiliki panduan dan kemampuan yang mumpuni dalam menjalankan profesi, sesuai kode etik dan amanah profesi yang berkonstitusi," pungkas Opan.
Penulis:Ifn